Hujan Nyaris Gagalkan Pergelaran “Solo Carnival”

Hujan deras berkepanjangan yang mengguyur Kota Solo sejak Sabtu (22/2/14) tengah hari sampai malam, menyaris menggagalkan pagelaran akbar “Solo Carnival” dan “Drama Wayang Kolosal” untuk merayakan Hari Jadi Kota Solo ke-269. Namun, karena kedua even tahunan itu sudah tertunda seminggu akibat Kota Solo berselimut abu vulkanik Gunung Kelud, meskipun pelaksanaannya harus mundur beberapa jam pergelaran tetap dilaksanakan sesuai rencana. “Solo Carnival” adalah karnaval yang dirancang secara tematik dengan menampilkan wayang orang yang merupakan ikon Kota Solo. Karnaval yang diikuti 1.000 orang gabungan dari Wayang Orang (WO) Sriwedari, WO RRI Surakarta, para seniman tari, anggota sanggar tari, siswa SMA dan lain-lain tersebut, merupakan pemeran pendukung pentas “Drama Wayang Kolosal” di jalanan koridor Jln. Jend. Sudirman (Jensud), depan Balaikota Solo.

Rencana semula, “Solo Carnaval” yang berpawai dari kawasan wisata koridor Ngarsopuro, depan Istana Mangkunegaran ke koridor Jensud akan diberangkatkan pukul 19.00. Sambil menunggu hujan rintik-rintik reda, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Drs. Eny Tyasni Suzana dan koordinator karnaval, Bambang Suhendro memutuskan, karnaval dan drama wayang tetap digelar. Menjelang pukul 21.00 di bawah cuaca gerimis akhirnya karnaval pun dilepas Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo di koridor Ngarsopuro.

Di jalanan yang basah air hujan antara koridor Ngarsopuro sampai koridor Jensud sejauh sekira satu kilometer, ribuan penonton termasuk yang datang dari luar Kota Solo memadati jalur yang dilintasi karnaval. Dalam dinginnya angin malam, banyak penonton yang antusias dengan mengambil foto para tokoh wayang Pandawa dan Astina yang malam itu tokoh Arjuna dan tokoh Karna naik kuda.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, setiba di koridor Jensud dilanjutkan dengan pentas drama wayang kolosal dengan lakon “Dharmaning Satria”. Sebuah kisah kepahlawanan dan pengabdian tulus tokoh Astina, Prabu Karna dalam membela negara sampai titik darah yang penghabisan yang dipetik dari cerita pewayangan berjudul “Karna Tanding”.

Pagelaran wayang berdurasi dua jam dengan narasi bahasa Indonesia dan dikemas sebagai pertujukan yang megah itu, menceritakan tentang pertempuran Karna melawan saudaranya Arjuna dalam epos Baratayuda. Di awal pementasan selama kurang lebih 45 menit dengan setting panggung Jl. Jend. Sudirman yang berhiaskan rangkaian bambu, dipertontonkan pertempuran sengit antara Karna lawan Arjuna. Adegan pertempuran dalam drama tari yang didukung tidak kurang 1.000 pemain dan terangkai dengan karnaval, menjadi awal pementasan yang terbagi menjadi empat babak.

Pada babak pertama ditampilkan adegan jejeran Bismo, yaitu saat Begawan Bismo memberikan wejangan kepada Arjuna dan Karna. Babak berikutnya adalah Limbukan dengan setting keputren, disusul adegan Punakawan dan terakhir “perang saudara” antara Prabu Karna melawan Arjuna. Perang saudara tersebut berakhir dengan gugurnya Prabu Karna di tangan adiknya Arjuna.

Di antara pendukung pementasan akbar tersebut terdapat seorang pemeran asal Denmark, Maria Matson (18) yang sedang sekolah di SMA Negeri IV Solo. Meskipun hanya sebagai pemeran pembantu, Maria merasa mendapat pengalaman mengesankan yang tak pernah terlupakan karena bisa ikut pertunjukan wayang terbesar di Kota Bengawan.

“Menyenangkan sekali, karena di Denmark tidak ada pertunjukan seperti ini. Saya bangga mengikuti karnaval dari koridor Ngarsopuro sampai finish,” tutur Maria.

Menurut Bambang Suhendro, dalam “Solo Carnaval” dan “Drama Wayang Kolosal” tersebut Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo akan memperkuat pementasan sebagai pemeran Bima. Namun pada pentas ujicoba yang kebetulan dalam cuaca buruk akibat hujan berkepanjangan, Walikota Rudy batal tampil

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *