Pelatihan Pariwisata | Diklat Pariwisata-Wisatawan terus berkunjung dan naik ke puncak situs Gunung Padang. Jika tidak ada pembatasan serta pengaturan wisatawan, daya dukung lingkungan makin rendah dan situs rawan rusak. ”Gunung Padang menarik perhatian karena penafsiran yang berlebihan atau pseudoarchaeology. Misalnya, situs ini disebut lebih luas dari Borobudur atau lebih tua dari Piramida Mesir. Pasti pariwisata meningkat karena orang penasaran dan akan naik ke puncak situs. Itu sudah terjadi,” tutur arkeolog dan pemerhati cagar budaya dari Universitas Indonesia, Djulianto Susantio, Selasa (1/7/2014).
Oleh karena itu, harus ada pembatasan atau pengaturan pengunjung yang naik. ”Jangan lupakan pula upaya pelestarian dan konservasi,” ujar Djulianto.
Djulianto mencermati, penelitian Gunung Padang yang pertama lebih banyak penelitian geologi, bukan arkeologi. Waktu penelitian pun tidak lama dan kurang berwawasan pelestarian. Beda dengan penelitian arkeologi yang mengupas sedikit demi sedikit dan lama,” ujarnya.Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto sepakat mengenai konservasi dan penataan situs. Apalagi, Gunung Padang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Itu berarti ada alokasi anggaran untuk penataan situs.
Ketua Arkeologi Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang Ali Akbar menuturkan, berdasarkan semangat arkeologi publik, peninggalan arkeologi harus bermanfaat bagi publik. Situs Gunung Padang dapat bermanfaat antara lain untuk penelitian, seni, pendidikan, rekreasi dan turisme, representasi simbolik, serta keuntungan ekonomi.
Ali Akbar menambahkan, dalam meneliti, tim juga menggunakan pendekatan manajemen peninggalan arkeologi