Perencanaan Pengembangan Pariwisata Pusaka di Kota Bandung

Pariwisata adalah industri terbesar dan paling cepat berkembang di dunia dewasa ini, dan ‘pariwisata pusaka’ (heritage tourism) merupakan segmen yang semakin populer dan semakin banyak diminati. Menurut Pedersen, beberapa tren pariwisata di masa mendatang mencakup meluasnya minat terhadap pariwisata budaya, semakin menginginkannya wisatawan akan pengalaman nyata dengan budaya dan gaya hidup lain, sertasemakin dicarinya liburan yang bersifat aktif dan mengandung unsur edukasi oleh konsumen (UNESCO, 2002). Di banyak negara, terutama negara-negara maju, ‘pariwisata pusaka’ telah berkembang dengan sedemikian pesatnya, sehingga tidak saja mampu berkontribusi terhadap pelestarian situs-situs pusaka itu sendiri namun juga memberi manfaat nyata bagi warga, baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan, estetika, dan lain-lain. Negara-negara di Eropa Barat, terutama Inggris, mulai menangkap fenomena ini sejak dekade 1980-an, disusul negara-negara di Amerika Utara, terutama Amerika Serikat, pada dekade 1990-an.

Apakah yang dimaksud dengan ‘pariwisata pusaka’ dan mengapa memiliki daya tarik begitu besar sehingga banyak negara saat ini mengembangkannya? Bagaimana dengan potensi dan tantangan pengembangannya di Kota Bandung, yang juga memiliki kekayaan dan keberagaman pusaka?

Makalah ini akan mengurai secara singkat ‘pariwisata pusaka’ dan perencanaannya di Kota Bandung, diawali dengan pengantar tentang ‘pariwisata pusaka’ secara umum, serta tinjauan dan asumsi tantangan dalam perencanaan ‘pariwisata pusaka’ di Kota Bandung.

Sebelum Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) menetapkan istilah ‘pusaka’ sebagai padanan bagi ‘heritage’ di tahun 2004, terdapat beberapa kata yang berkembang di masyarakat untuk menyatakan maksud yang sama; ‘benda cagar budaya’ pada tataran formal dan ‘warisan’ pada tataran awam. Di Inggris, pendefinisian yang sederhana untuk ‘heritage’ adalah ‘apa yang atau mungkin diwariskan’ – dapat mencakup tradisi, nilai, event historis, mesin industri dari masa lalu, rumah historis, koleksi seni, kegiatan kultural, dan kekayaan alam seperti pantai, pegunungan, flora dan fauna (Drummond, 2001).

Di Indonesia sendiri, pada tataran yang lebih formal, terdapat undang-undang tentang pusaka yang diistilahkan sebagai ‘benda cagar budaya’, dan dijabarkan sebagai berikut :

”(1) Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (2) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan” (UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya).

Dilihat dari jenisnya, ’pusaka’ terdiri dari tiga; budaya, alam, dan saujana. Pusaka budaya berhubungan dengan hasil pemikiran dan karya manusia di masa lalu; pusaka alam merupakan bentukan alam yang unik sehingga harus dilestarikan; sedangkan pusaka saujana merupakan gabungan dari pusaka budaya dan pusaka alam. Dilihat dari bentuknya, terdapat pusaka berwujud (tangible), contohnya arsitektur, dan pusaka tidak berwujud (intangible), seperti tari-tarian. (Sumber Binus)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *