Quo Vadis Provinsi Pariwisata

Pelatihan Pariwisata | DIklat Pariwisata -Di pojok  kanan kompleks perkantoran Gubernur NTT, ada billboard besar dengan satu baliho yang bertuliskan Kalender Even Pariwisata NTT. Dalam kalender itu disebutkan berbagai even pariwisata di NTT seperti Sail Flobamora, tracking di Amarasi, dan beberapa kegiatan pariwisata tahunan kabupaten-kabupaten tertentu.

Tentu yang diusung oleh baliho tersebut adalah spirit NTT sebagai provinsi pariwisata. Lantas, bagaimanakah implementasi NTT sebagai provinsi pariwisata? Akankah memberi dampak positif maksimal bagi rakyat NTT atau malah tenggelam dalam hiruk-pikuk predikasi NTT sebagai provinsi ternak, provinsi cendana, provinsi koperasi, provinsi jagung dan provinsi kepulauan?

Bukan Ruang Hampa
Pariwisata bukan hanya menyangkut urusan ekonomi. Sebagai faktor yang multisektoral, pariwisata tidak berada dalam ruang hampa, melainkan ada dalam suatu sistem yang besar, yang komponennya saling terkait, dengan berbagai aspeknya, termasuk aspek sosial, budaya, lingkungan, politik, keamanan dan seterusnya. Belakangan ini pariwisata menjadi salah satu prime-mover dalam perubahan sosial budaya di berbagai daerah, terutama daerah-daerah tujuan wisata (DTW).

Asumsi saya, predikasi NTT sebagai provinsi pariwisata berada dalam konsep di atas. Provinsi NTT memang memiliki banyak potensi pariwisata baik wisata alam, budaya, rohani, kuliner, dan lainnya. Predikasi provinsi pariwisata tentunya bukan tanpa alasan. Saya yakin, Pemprov NTT sudah berpikir matang sebelum memperkenalkan NTT sebagai provinsi pariwisata. Minimal, sektor pariwisata menjadi salah satu sektor andalan dalam derap pembangunan NTT dan karena itu menjadi prioritas pembangunan.

Dengan penyebutan NTT sebagai provinsi pariwisata maka tujuan pengembangan pariwisata di NTT diharapkan bisa menjadi prime-mover dalam sektor kehidupan masyarakat NTT, khusunya DTW yang ada di berbagai kabupaten. Pariwisata mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat erat dengan banyak sektor melalui apa yang disebut trickle-down effect dan multiplier effect.

Berbagai potensi wisata seperti Danau Triwarna Kelimutu di Ende, Varanus Komodoensis di Manggarai Barat, Taman Laut di Riung Ngada, Pasir Putih di Alor, dan berbagai potensi wisata di setiap kabupaten adalah daya tarik wisata yang dimiliki NTT.

Potensi dan keindahan alam semacam ini memang membanggakan masyarakat NTT. Pariwisata menjadi brand-image di mana orang bisa mengenal NTT. Namun, keberadaan yang terberi ini seringkali menjadi kebanggaan hampa tatkala tidak ada upaya kultivasi dan pengelolaan dari berbagai pihak agar DTW di setiap daerah itu menjadi lebih baik, lebih berkembang dan lebih berdaya guna. Belum ada perhatian yang purna untuk pariwisata. Paling-paling ketika ada seremoni tertentu sedikit menggeliat, selepas itu mati suri lagi.

Membangun Citra
Setiap DTW mempunyai citra (image) tertentu, yaitu mental maps seseorang terhadap suatu destinasi yang mengandung keyakinan, kesan, dan persepsi. Pencitraan ini sangat penting karena pariwisata berkaitan dengan simbol dan makna. Membangun citra tentu tidak mudah. NTT yang sudah membaptis diri sebagai provinsi pariwisata harus berbenah untuk membangun citranya sebagai tempat wisata yang menarik dan bagus.

Pertanyaannya, apa yang sudah Pemerintah NTT buat untuk membangun citra NTT selaku provinsi pariwisata? Apa yang sudah orang NTT buat untuk membangun citra tanah kebanggaannya ini? Hemat saya, ada tiga komponen utama faktor penarik (pull factors), suatu destinasi yakni wisatawan, wilayah (objek dan atraksi) dan informasi mengenai wilayah belum dikelola dengan baik.

Faktor penarik itu terkait dengan ketersediaan fasilitas yang diperlukan oleh wisatawan. Ada enam kelompok besar kebutuhan yang harus disediakan oleh suatu DTW yakni transportasi yang baik, akomodasi yang layak, tersedianya makanan yang mencukupi, atraksi menarik (rekreasi, pentas budaya, entertainment), tersedianya barang-barang harian. Bila hal-hal ini dikonfrontasikan dengan kondisi di NTT, muncul beberapa pertanyaan bagi kita. Apakah faktor-faktor di atas sudah terpenuhi sehingga bisa membangun citra NTT provinsi pariwisata?

Kita harus realistis. Di beberapa DTW di NTT, soal transportasi saja sudah sulit. Keadaan jalan rusak parah, kendaraan terbatas. Belum lagi fasilitas lain seperti penerangan (listrik  mungkin menyala hanya 12 jam pada malam hari), wartel, internet dan sinyal handphone belum ada. Selain itu, adakah tersedia makanan khas setiap daerah, warung-warung makan bagi para wisatawan, tempat jualan sovenir khas DTW setempat, kain tenun, sanggar seni. Soal kesehatan lingkungan; apakah akomodasi bersih, lingkungan bersih. Apakah toilet yang bersih juga tersedia?

Inilah sarana dan prasarana penunjang wisata yang perlu dibenahi. Pihak-pihak terkait dalam hal ini Dinas Pariwisata mesti bekerja lebih serius. Gencarnya promosi keluar tak ada maknanya jika kita tidak menyiapkan tempat yang layak bagi para wisatawan itu. Masyarakat NTT, para pelaku wisata, LSM peduli wisata, kelompok sadar wisata yang ada, elemen masyarakat lainnya perlu memperhatikan hal-hal ini.

Menjaga citra itu lebih sulit daripada membangunnya. Dan untuk kita tentu lebih sulit lagi karena membangun citra saja masih sulit apalagi menjaganya. Namun, kita mesti tetap berjuang agar potensi wisata NTT semakin berkembang dan terkenal. Itu berarti, provinsi pariwisata tidak sekadar sebutan, tidak hanya predikat. Harus ada terobosan-terobosan serius dan berani agar NTT benar-benar menjadi provinsi pariwisata dalam kenyataan, bukan dalam wacana.

Kasus Mabar
Sejumlah pelaku pariwisata di Mabar (Manggarai Barat) menyampaikan curhat terkait pengelolaan pariwisata di kabupaten itu saat berdialog dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu di Labuan Bajo (3/8/2014). Sebagaimana diwartakan Pos Kupang (6/8/2014), ada beberapa hal yang dikeluhkan yakni ciri khas Manggarai dalam pengembangan pariwisata di Labuan Bajo yang terabaikan; penolakan terhadap pengelolaan kawasan Pantai Pede oleh investor; masalah monopoli dari para pemodal besar; jasa pelayanan wisata asing yang dilakukan oleh sesama bule; kekurangan guide; hingga persoalan sampah.

Hemat saya, keluhan para pelaku pariwisata Mabar di atas adalah gambaran umum dari kondisi pengelolaan pariwisata di NTT. Masalah-masalah pariwisata NTT saat ini semakin rumit. Soal ciri khas DTW, ini hal yang penting untuk dipikirkan pemprov NTT. Jangan lagi ada souvenir pariwisata NTT tetapi buatan Bali, Jogjakarta misalnya. Selain itu, pembangunan fasilitas pariwisata mesti berciri khas daerah setempat karena bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.

Soal lain, masuknya pemodal besar dalam bisnis pariwisata di NTT dapat mematikan pemodal kecil yang rata-rata adalah pelaku usaha pariwisata lokal. Mesti ada regulasi yang mengatur agar kehadiran pemodal besar tidak dalam rangka memonopoli semua urusan wisata atau malah mematikan geliat ekonomi pariwisata lokal. Pemerintah juga perlu berhati-hati dalam memberikan ruang ‘privatisasi’ aset-aset pemerintah kepada investor dari luar. Harus dibicarakan dengan warga setempat dan mesti mengutamakan kepentingan masyarakat, budaya dan adat istiadat setempat. Pemerintah jangan silau oleh daya tarik ‘mamon’ milik investor luar. Sekali lagi, provinsi pariwisata jangan hanya slogan. Selesaikan masalah-masalah kepariwisataan di tingkat bawah secara bijak agar rakyat benar-benar merasakan ini baru provinsi pariwisata.

Pariwisata mempunyai energi dobrak luar biasa yang mampu membuat masyarakat mengalami metamorfose dalam berbagai bidang kehidupan seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha. Apakah kita di NTT sudah merasakan nilai guna dari kehadiran berbagai DTW di NTT ini? Sangat disayangkan jika nilai jual DTW di berbagai daerah di NTT menjadi komoditi bagi pihak-pihak tertentu untuk mendulang rupiah dan dolar, dan bukan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Quo vadis provinsi pariwisata? Masing-masing pihak bisa memberikan jawaban sesuai pemahaman, pengalaman dan pengenalannya terhadap dunia pariwisata NTT. Namun satu hal yang pasti, provinsi pariwisata jangan hanya slogan. Provinsi pariwisata jangan hanya terkenal di baliho-baliho tetapi justru jauh dari jangkauan masyarakat NTT. Semoga predikasi provinsi pariwisata tidak tenggelam dalam arus kepentingan predikasi-predikasi lainnya yang menempeli provinsi ini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *