Info pelatihan pariwisata, Diklat Pariwisata dan Training pariwisata dapat diakses disini-Jakarta, dpd.go.id – Saat ini telah terjadi perubahan mindset atau cara berpikir dalam dunia pariwisata, yaitu dari pariwisata consumer menjadi pro-sumer dan dari pariwisata membeli barang menjadi membuat pengalaman. Dengan adanya perubahan paradigma tersebut, pembangunan pariwisata di Indonesia harus segera disesuaikan dengan kondisi saat ini. Hal tersebut disampaikan oleh Yuwana Marjuka, ketua tim ahli penyusunan Naskah Akademis Perubahan UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, saat mengawali paparannya dalam Sidang Komite III DPD RI, Selasa (09/10/2012). Bertempat di Gedung DPD RI, Jakarta, Yuwana juga mengungkapkan bahwa sinergisitas antar departemen juga harus didorong. “Kementerian Pekerjaan Umum tidak menolak untuk membangun infrastruktur di lokasi pariwisata, tetapi Kementerian Pariwisata harus memberikan peta pembangunan pariwisata,” jelas Dosen IPB ini.
Melanjutkan paparannya, Yuwana menyebutkan salah satu tujuan utama penyusunan naskah akademis tersebut adalah mewujudkan UU Pariwisata yang menjamin kelembagaan, sistem dan tata kelola pariwisata yang sinergis antar stakeholder. Harapannya kerja sama dan integritas antar lembaga yang disebutkan tadi dapat terwujud.
Dalam naskah tersebut, Yuwana juga mengemukakan suatu gagasan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) dimana masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang pembangunan pariwisata. “Dengan begitu, masyarakat mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan finansial dari pariwisata dan sektor lain yang terkait,” tutur Yuwana. Peran masyarakat memang ditekankan dalam naskah tersebut karena merupakan salah satu dari tiga hal penting dalam mengelola pariwisata di samping ekonomi kreatif dan kerja sama internasional.
Paparan kedua disampaikan oleh Soni Maulana, dosen Fakultas Hukum UI, yang mengkritisi beberapa poin dalam UU No. 10/2009. Selain segi bahasa dalam poin tujuan yang kurang elegan, menurutnya, UU tersebut belum mengadopsi beberapa hal penting seperti penerapan desentralisasi, paradigma baru dalam dunia pariwisata, serta ekonomi kreatif. ”Undang-undang Pariwisata ini agak kurang dalam menerapkan prinsip-prinsip desentralisasi, pembahasannya terlalu general. Dari sisi substansi, paradigma baru dan ekonomi kreatif juga belum terakomodasi,” terang Soni.
Sejalan dengan Yuwana, Soni juga menggarisbawahi pentingnya kerja sama sinergis antar lembaga. “Pariwisata adalah urusaan bersama, tidak bisa ditangani oleh Kementerian Pariwisata sendiri,” lanjutnya.
Selain itu, UU No. 10 ini agak kurang rinci dalam mengatur ruang lingkup yang tercakup dalam UU tersebut. “Akibatnya kurang bisa mendorong pariwisata dan struktur bab dalam UU pun kurang,” Soni menambahkan.
Berhubung masih banyak hal yang harus dibenahi dan ditambahkan, Soni menyimpulkan bahwa kerja yang tengah dilakukan Komite III bersama tim ahli saat ini bukan sekedar merevisi UU. “Secara umum memang melakukan perubahan atas UU No. 10/2009, tetapi sebenarnya tidak hanya sekedar mengubah, karena tidak sedikit yang diubah,” ungkapnya. (af)