Selamatkan Sumber Daya Air Melalui Pariwisata

waterHARI Air Sedunia (World Water Day) diperingati setiap 22 Maret. Inisiatif peringatan ini diumumkan pada Sidang Umum Ke-47 PBB pada 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Hari Air Sedunia adalah perayaan yang ditujukan sebagai usaha-usaha untuk menarik perhatian publik akan pentingnya air bersih dan usaha penyadaran untuk pengelolaan sumber-sumber air bersih yang berkelanjutan. Tema peringatan Hari Air Sedunia 2015 adalah Water and Sustainable Development atau Air dan Pembangunan Berkelanjutan yang menyoroti pentingnya air dalam agenda pembangunan berkelanjutan.

Dasar penyelamatan sumber daya air dan jaminan ketersediaan air pada masa depan adalah pola pikir yang benar terkait dengan perairan bahwa sumber perairan adalah sumber kehidupan. Bahkan, air telah menjadi sarana penting dalam tata peribadatan umat Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katolik, dan Yahudi selama berabad-abad.

Dalam sebuah himne kuno Rig Veda, Water of Life, yang dikutip dari buku Water Wars: Privatization, Pollution, and Profit karya Vandhana Shiva, fungsi air sangat sentral sehingga umat Hindu sejak dulu menyakralkannya. Dituliskan di sana, ’’water, you are the one that brings us the life force. Help us to find nourishment, so that we may look upon great joy… rulers over all peoples, the waters are ones I beg for cure waters –yield your cure as an armor for my body.’’ Masaru Emoto dalam The True Power of Water bereksperimen, air yang dimasukkan di dua botol –yang satu diberi ungkapan-ungkapan positif dan satu lagi diberi ungkapan-ungkapan negatif– menghasilkan wujud kristal yang berbeda.

Di ranah pariwisata, pada 2013, United Nation World Tourism Organization menetapkan isu yang terkait dengan air, Tourism & Water: Protecting Our Common Future. Dalam konteks untuk melindungi masa depan, isu air perlu disinergikan dalam konteks pariwisata.

Sinergi isu air dan pariwisata dapat diterapkan ke dalam tiga aspek. Pertama, di perairan Indonesia tergores catatan emas para pendahulu bangsa ini yang dari situlah bangsa Indonesia dirintis dan dibesarkan.

Terkait dengan hal tersebut, misalnya, rute perjalanan nenek moyang bangsa Indonesia (orang-orang Bajo, Bugis, Makassar, dan Mandar) yang dikenal sebagai pelaut andal dan hantu-hantu penjelajah samudra sejak abad ke-5 jauh sebelum Cheng Hoo dan Columbus perlu dikemas sebagai produk wisata. Arti penting rute itu dalam komoditas pariwisata adalah destinasi wisata napak tilas sejarah bahari.

Trail of Indonesia Civilization mungkin merupakan istilah populer yang sesuai dengan paket perjalanan tersebut. Dalam paket wisata itu, ditonjolkan unsur-unsur sejarah yang berada di area Indonesia. Misalnya, pelabuhan tempat dulu pelaut kita memulai pelayaran, kapal seperti apa yang dulu dipakai, serta tentu saja peradaban-peradaban lain yang dikemas dalam suatu narasi yang memikat wisatawan.

Senada dengan paket wisata tersebut, Menteri Pariwisata Arief Yahya baru-baru ini mengenalkan program wisata baru dengan nama Jalur Samudra Cheng Hoo (JSC) yang meliputi wilayah Banda Aceh, Batam, Tanjung Pandan, Belitung, Palembang, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, hingga Denpasar, Bali. Tentu saja thematic tour itu mengenang kedatangan Laksamana Cheng Hoo.

Di samping itu, sumber-sumber perairan seperti sungai harus dijaga bersama. Di perkotaan, area perairan di tengah kota (sungai) atau di batas pinggiran kota perlu semakin ditata serta dikelola secara serius untuk meningkatkan daya tarik kota. Makau, misalnya. Daerah yang memiliki otonomi khusus dari RRT itu berhasil membangun daya tarik wisata sungai yang ditata sedemikian rupa sehingga berkesan seperti kawasan Eropa.

Mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar menyatakan, selain kekayaan air di laut, potensi wisata berbasis air di Indonesia terdapat di daratan atau yang disebut dengan in-land water atau air di luar laut seperti danau, sungai, serta empang. Pemahaman tersebut memperkuat positioning turisme Indonesia sebagai multi-destination country dalam persaingan turisme global. Selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan kekayaan bawah laut yang melimpah dan pantai yang indah. Kedua, dalam pariwisata, selalu diperlukan koordinasi lintas sektoral. Dalam pembangunan wisata bahari, tentu saja Kementerian Pariwisata berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Polri (Kepolisian Air Udara), serta TNI-AL. Koordinasi lintas sektoral untuk kawasan perairan Nusantara diharapkan semakin berdaya efektif manakala secara nasional digerakkan untuk mendinamiskan dan memajukan pariwisata bahari.

Green Tourism

Ketiga, konsep green tourism yang salah satu fokusnya adalah penyelamatan dan konservasi sumber daya air untuk memastikan ketersediaan air yang berkualitas. Secara harfiah, green tourism dapat diejawantahkan melalui ekowisata.

Konsep ekowisata telah dikembangkan pada era 80-an sebagai pencarian jawaban dari upaya meminimalkan dampak negatif bagi kelestarian keanekaragaman hayati karena kegiatan pariwisata. Konsep ekowisata sebenarnya bermaksud menyatukan dan menyeimbangkan beberapa konflik secara objektif: dengan menetapkan ketentuan dalam berwisata, melindungi sumber daya alam dan budaya, serta menghasilkan keuntungan dalam bidang ekonomi untuk masyarakat lokal.

Perkembangan tren ekowisata di tanah air berdampak pada industri perhotelan. Yakni, hotel berwawasan lingkungan (green hotel) kini menjadi nilai tambah tersendiri. Green hotel yang dimaknai sebagai praktik bisnis perhotelan yang memedulikan dampak bisnis terhadap lingkungan melalui pengurangan polusi, pengolahan limbah, dan penghematan energi menjadi semakin penting diintegrasikan dalam strategi bisnis.

Leluhur bangsa Indonesia telah meneladankan kehidupan yang selaras dengan alam, khususnya terkait dengan pergerakan, distribusi, dan kualitas air. Para ahli hidrologi dan sejarawan menyatakan, teknik hidrologi sebenarnya sudah dikembangkan kerajaan-kerajaan kuno yang pernah ada di negeri ini. Hal itu terlihat dari adanya situs kanalisasi dan bendungan kuno peninggalan Raja Airlangga. Juga, candi petirtaan yang dibangun pada masa Kerajaan Jenggala, Kadiri, Singhasari, hingga Majapahit seperti Jolotundo dan Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan serta petirtaan di kompleks Candi Penataran di Blitar. Melalui sinergi dengan turisme, diharapkan semakin tumbuh kesadaran akan penghormatan terhadap sumber daya air. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 − 1 =