Wisata di Solo Minim Pilihan

Solo terbukti telah menjadi salah satu kota tujuan utama meeting, incentive, convention and exhibition (MICE). Sayang, di luar MICE, wisatawan seakan tidak punya pilihan. Tidak banyak objek atau atraksi wisata yang bisa dinikmati selama di Solo. Alhasil, kegiatan utama pelancong selain MICE hanya berbelanja.”Dari luar, Solo sepertinya wah, tapi ketika sudah masuk di dalamnya hanya reaksi woh. Cuma segitu. Wisatawan bingung, sesampainya di Solo mau ke mana saja,” papar Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Surakarta (Bppis), Hidayatullah Albanjari, di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surakarta, Senin (20/1).

Selama November, Bppis melakukan survei dengan melibatkan 300 responden di 12 hotel ini. Dari survei, ditemukan bahwa sebagian besar tamu datang ke Solo untuk urusan bisnis, baru kemudian mengunjungi saudara atau teman. Tidak banyak tamu hotel yang datang dengan tujuan utama berwisata.

Rata-rata lama tinggal alias length of stay (LoS) di Solo, sekitar 2-3 hari. Angka LoS ini, dinilai berpotensi untuk diperbesar jika saja Solo punya lebih banyak pilihan tempat wisata. Selama di Solo, 69 persen tamu memanfaatkan waktu untuk berbelanja, terutama batik. Dalam setiap kunjungan ke Solo, tamu bisa menghabiskan uang hingga Rp 2 juta untuk belanja.

Sementara, kunjungan ke museum, naik bus tingkat atau kereta uap, melihat pertunjukan seni dianggap tidak terlalu menarik. Justru tamu lebih banyak memilih berkunjung di objek wisata di sekitar Solo.

“Dari beberapa dimensi pengukuran persepsi, tamu puas terhadap layanan dan produk akomodasi, makanan dan minuman, pusat belanja serta layanan bank/ATM. Namun masih ada banyak dimensi yang dianggap kurang. Yakni, toilet umum, tourism information center, papan petunjuk arah, halte, pertunjukan seni, paket wisata, transportasi lokal, dan kualitas objek wisata,” tegasnya.

Karena itu, dia merekomendasikan pembangunan pariwisata jangka pendek difokuskan pada pengembangan produk, atraksi dan layanan pariwisata. Tidak harus membangun baru. Pengembangan objek wisata bisa dengan melakukan revitalisasi. Dia melihat Gedung Wayang Orang Sriwedari sebenarnya punya daya tarik yang sangat kuat, hanya saja perlu dikemas lebih modern dan memanfaatkan teknologi. Di samping itu, perlu pengembangan atraksi wisata reguler.

“Proses pergantian pertugas jaga di keraton sebenarnya bisa diangkat. Di Inggris, kegiatan seperti ini berlangsung dua jam dan menarik wisatawan. Untuk membuat nyaman pelancong, pengelola bahkan memberikan tempat duduk khusus,” katanya.

Kepala Disbudpar, Eny Tyasni Susana menyatakan kesiapannya dalam mengembangkan objek wisata baru. Proyek yang saat ini sedang digarap adalah Museum Keris, ditargetkan selesai pada 2015. Sementara untuk revitalisasi Gedung Wayang Orang Sriwedari, itu memang menjadi impian dari dinas yang belum tercapai sampai sekarang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

14 − ten =