Diklat Pariwisata| Pelatihan Pariwisata -Laporan tahunan forum ekonomi dunia (WEF) menunjukkan Indonesia menduduki peringkat ke-70 di antara seluruh negara di dunia. Untuk kawasan Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat terbelakang. Dua faktor utama yang menyebabkan peringkat tersebut rendah antara lain skema regulasi perjalanan dan pariwisata serta lingkungan bisnis dan infrastruktur di Tanah Air yang kurang menunjang.
Faktor tersebut juga dibenarkan oleh turis asal Jerman yang telah bertahun-tahun tinggal di Samosir. Thomas Heinle, pemilik ecovillage menguraikan, banyak hal yang harus dibenahi Indonesia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pariwisata. Ia menandaskan, pemerintah dan masyarakat seharusnya memberikan kemudahan bagi para turis untuk masuk ke negeri ini.
Thomas memberikan contoh salah satu ketidakefisienan Kementerian Imigrasi Indonesia dalam hal pengurusan paspor. Ia menunjukkan paspornya yang berisi stempel imigrasi Indonesia dan Thailand. “Saya menilai ini tidak efisien, punya Indonesia terlalu makan tempat, lihat stempel Thailand, lebih kecil dan efisien. Para turis yang senang bepergian harus balik ke negaranya untuk mengurus paspor kembali jika tempat isian stempel ini sudah penuh. Itu mempersulit,” terangnya, Kamis (22/5).
Selain menyinggung ketidakefisienan pihak imigrasi, ia juga mengomentari masalah infrastruktur. Agar pariwisata Indonesia maju, imbuhnya, pembangunan infrastruktur harus segera dibenahi. “Saya bermimpi, andaikan Sumatera Utara punya kereta api super cepat atau cable car yang menghubungkan Medan ke Samosir, tentunya pariwisata Samosir akan jauh lebih berkembang ketimbang sekarang. Ada investor Austria yang berminat untuk menanamkan modal untuk itu, saya bisa ajak dia jika Indonesia mau” katanya.
Suami Ratnauli Gultom yang gigih untuk memajukan Samosir ini pun menyampaikan, pengaruh perilaku masyarakat turut berdampak terhadap minat wisatawan untuk berkunjung kembali. Sifat masyarakat yang suka membeda-bedakan perlakuan antara turis asing dengan penduduk asli katanya paling tidak disukai wisatawan. “Kami wisatawan tahu persis berapa harga barang atau jasa yang ingin kami bayar, tapi karena kami bule, perlakuan kepada kami berbeda. Indonesia memang aneh dalam hal ini.”
Terlepas dari komentar Thomas, WEF dalam laporannya mengungkapkan negeri ini memiliki potensi sumber daya alam terbesar di dunia. Akan tetapi, belum semua situs pariwisata memiliki nilai jual akibat belum terkelola dengan kompeten. Untuk di Sumut, Ketua ASITA Solahudin Nasution mengemukakan, paket wisata unggulan hanya ada tiga koridor. Angka ini sangat minim mengingat lokasi pariwisata di provinsi ini terbanyak di kalangan Pulau Sumatera.
Solahudin mengatakan, pemerintah dan masyarakat harus menciptakan nilai jual guna memikat para turis lokal dan mancanegara. Nilai jual itu menurutnya bisa diwujudkan dengan meningkatkan daya tarik melalui budaya, lokasi, flora dan fauna, serta dukungan fasilitas memadai. “Swasta tentu akan menggarap koridor baru jika situs-situs tersebut mendukung untuk dijadikan paket pariwisata andalan.”
Di samping itu, guna meningkatkan indeks perjalanan dan pariwisata Indonesia serta meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, Pengamat ekonomi FE USU, Kasyful Mahalli menerangkan, pemerintah dalam hal ini kementerian dan dinas pariwisata, harus mampu mengkoordinir seluruh stake holder yang ada.
“Manfaatkan anak-anak sekolah tinggi pariwisata, suruh mereka promosikan paket pariwisata. Undang setiap kabupaten dan kota selenggarakan kegiatan budaya tahunan. Ajak swasta kerja sama untuk mengkonsep dengan baik, saya rasa itu tidak susah,” tutur Dosen Ekonomi USU tersebut